Jumat, 30 November 2012

Fadhilah/Keutamaan Shalawat, Hukum dan Tata Caranya



Shalawat pengertiannya disini adalah do'a yang ditujukan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan Rasulullah saw beserta keluarganya. Sedangkan bacaan dan lafaznya telah diajarkan oleh Rasulullah saw sendiri pada banyak hadits-hadits shahih. 

Beberapa keutamaan/fadhilah shalawat adalah : 

Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash, sesungguhnya dia pernah mendengar Nabi saw bersabda, "Apabila kalian mendengar suara adzan, tirukanlah suara adzan itu, kemudian ucakan shalawat untukku, karena sesungguhnya barangsiapa yang mengucapkan shalawat untukku satu kali, Allah swt akan menurunkan rahmatnya sepuluh kali kepadanya..." (HR Muslim no. 557) 

Dari Abdullah bin Mas'ud, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, "Orang yang paling dekat denganku di hari kiamat nanti adalah orang yang paling banyak membaca shalawat untukku." (HR Tirmidzi no. 446) 

Sedangkan perintah untuk bershalawat telah diterangkan oleh Allah swt dalam Al-Quran yang artinya: "Sesungguhnya Allah dan para malaikat bershalawat kepada Nabi (Muhammad). Wahai orang yang beriman, ucapkanlah shalawat dan berilah salam kepadanya (Muhammad)." (QS Al-Ahzaab (33): 56) 

Dari Abu Hurairah, ia berkata,"Rasulullah saw bersabda: Sungguh rendah dan hina orang yang mendengar namaku disebut tetapi tidak mengucapkan shalawat kepadaku..." (HR Tirmidzi no. 3468) 

Dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata: "Rasulullah saw bersabda: "Orang yang bakhil (kikir) adalah orang yang ketika mendengar namaku disebut, ia tidak mengucapkan shalawat kepadaku." (HR Tirmidzi no. 3469) 

Untuk tata cara melakukan shalawat, Rasulullah saw menerangkan dalam hadits berikut: 
Dari Abu Hurairah, ia berkata: "Rasulullah saw bersabda: "Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan dan janganlah kalian jadikan makamku sebagai tempat perayaan dan kalian ucapkanlah shalawat untukku, karena sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku di mana saja kalian berada." (HR Abu Dawud no. 1746) 

Secara implisit dari hadits di atas disebutkan bahwa untuk mengucapkan shalawat tidak diperlukan tempat ataupun upacara/ritual khusus. Dengan demikian kita boleh mengucapkan shalawat kapan saja dan di mana saja.


Rabu, 28 November 2012

Akhlak Baik

Rasulullah SAW bersabda : "Tidaklah ada yang lebih utama bobotnya dalam neraca amal pada hari kiamat yang melebihi bobot akhlak yang baik. Dan sesungguhnya seseorang yang karena akhlaknya yang baik akan mencapai derajat orang yang puasa dan orang yang baik untuk shalat malam."

(HR. Thabrani)


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Senin, 26 November 2012

Ameera on the heaven

There sat Ameera (meaning Princess). Israel's missile kissed her and turned her into a bunch of flowers.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 23 November 2012

Keutamaan Hari Asyura

 Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Hari Asyura merupakan hari kesepuluh Muharram dan kaum Muslimin disunahkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan berpuasa. 

Ceritanya, pada permulaan hijrah ke Madinah Rasulullah SAW melihat kaum Yahudi melaksanakan puasa tanggal 10 Muharram. Rasulullah SAW bertanya, "Puasa apa ini?" 

Para sahabat menjawab, "Ini adalah puasanya Nabi Shaleh AS, juga puasa pada hari di mana Allah SWT menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka sehingga Nabi Musa berpuasa." 

Rasulullah SAW bersabda, "Aku lebih berhak atas Musa daripada mereka (kaum Yahudi), sehingga Rasulullah SAW berpuasa dan menyuruh (kaum Muslimin) berpuasa." (HR. Bukhari).

Menurut sebagian riwayat, beberapa peristiwa istimewa pada hari Asyura antara lain: diselamatkannya Nabi Nuh AS beserta kaumnya dari banjir bandang yang terjadi pada zamannya dan diselamatkannya Nabi Yunus AS dari perut ikan paus yang memangsanya.

Rasulullah SAW sendiri telah melaksanakan puasa Asyura bersama kaum Muslimin di Makkah sebelum datangnya kewajiban puasa Ramadhan. 

Namun, setelah Allah SWT mewajibkan puasa Ramadhan, Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh, Asyura adalah hari di antara hari-hari Allah SWT. Barangsiapa yang berkehendak maka ia dapat melakukan puasa atau meninggalkannya (tidak melakukannya)." (HR. Muslim). 

Selain kaum Yahudi, kaum jahiliyah di Makkah juga memiliki tradisi puasa Asyura, sehingga puasa Asyura cukup masyhur bagi mereka.

Syariat puasa Asyura kendati boleh dilakukan secara mandiri hanya satu hari tanggal 10 Muharram, namun Jumhur Ulama berpandangan mengenai kesempurnaan puasa tersebut bila digabung dengan puasa Tasu'a (tanggal 9 Muharram). 

Hal tersebut karena pada saat Rasulullah bersama sahabat berpuasa Asyura, sebagian sahabat menyatakan hari itu adalah hari yang diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani, Rasulullah SAW bersabda, "Insya Allah, pada tahun mendatang kita akan berpuasa yang dimulai dari hari kesembilan Muharram (Tasu'a)." 

Namun, sebelum bulan Muharram tahun depan tiba Rasulullah SAW telah wafat, sehingga menurut para ulama, hikmah disunahkannya puasa Tasu'a dengan Asyura adalah untuk membedakan puasa kaum Muslimin dan Kaum Yahudi.

Sejak saat itu, para sahabat dan salafus shaleh mentradisikan puasa Tasu'a dan Asyura yang dilatarbelakangi oleh berbagai keutamaan sebagaimana tersebut di dalam hadis berikut:

Ibnu Abbas RA berkata, “Aku tidak melihat Rasulullah SAW berniat puasa dan  mengharapkan keutamaan pahala yang utama kecuali pada hari ini, yaitu hari Asyura dan bulan ini (Ramadhan)." (HR. Bukhari).

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda, "Puasa tiga hari pada setiap bulan dan Ramadan ke Ramadhan adalah puasa satu tahun penuh, puasa Arafah menghapus dosa tahun lalu dan tahun yang akan datang, sedangkan puasa Asyura menghapuskan dosa tahun lalu." (HR. Muslim).

Adapun kebisaan kaum Muslimin menyantuni anak yatim dan fakir miskin maupun keluarga di bulan Muharram, didasarkan pada hadis Rasulullah SAW, "Barangsiapa meluaskan (perkara) bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah SWT akan meluaskan (perkara) baginya sepanjang tahun." (HR. Baihaqi).

Demikianlah keutamaan hari Asyura, semoga Allah SWT memberikan kemudahan bagi kita dalam memperbanyak kebajikan dan berpuasa Tasu'a dan Asyura sebagai bentuk kecintaan kita dalam melestarikan sunah Rasulullah SAW.Wallahu a'lam.

Dikutip: Republika

--------------------------------------------------------------
Praise be to Allah Lord of the Worlds 
Peace and blessings of Allah be upon His Messenger Muhammad

Kamis, 15 November 2012

Bid’ah Hasanah dan Dalilnya

Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.

Tulisan pada gambar ini adalah pemahaman bid'ah menurut Wahhabi, benarkah pemahaman mereka?

Tulisan pada gambar ini adalah pemahaman bid'ah menurut Wahhabi, benarkah pemahaman mereka?

Bid'ah hasanah adalah persoalan yang tidak pernah selesai dibicarakan. Hal ini di samping karena banyak inovasi amaliah kaum Muslimin yang tercover dalam bingkai bid'ah hasanah, juga karena adanya kelompok minoritas umat Islam yang sangat kencang menyuarakan tidak adanya bid'ah hasanah dalam Islam. Akhirnya kontroversi bid'ah hasanah ini selalu menjadi aktual untuk dikaji dan dibicarakan. Toh walaupun sebenarnya khilafiyah tentang pembagian bid'ah menjadi dua, antara bid'ah hasanah dan bid'ah sayyi'ah, tidak perlu terjadi. Karena di samping dalil-dalil Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan adanya bid'ah hasanah cukup banyak dan sangat kuat, juga karena konsep bid'ah hasanah telah diakui sejak generasi sahabat pada masa Khulafaur Rasyidin. Namun apa boleh dikata, kelompok yang anti bid'ah hasanah tidak pernah bosan dan lelah untuk membicarakannya. 

Dalam sebuah diskusi dengan tema Membedah Kontroversi Bid'ah, yang diadakan oleh MPW Fahmi Tamami Provinsi Bali, di Denpasar, pada bulan Juli 2010, saya terlibat dialog cukup tajam dengan beberapa tokoh Salafi yang hadir dalam acara tersebut. Dalam acara itu, saya menjelaskan, bahwa pembagian bid'ah menjadi dua, bid'ah hasanah dan bid'ah sayyi'ah, merupakan keharusan dan keniscayaan dari pengamalan sekian banyak hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang shahih dan terdapat dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu'tabar). Karena meskipun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رضي الله عنه قَالَ:  قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَالْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ

(رواه مسلم)

"Jabir bin Abdullah berkata, "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid'ah itu kesesatan." (HR. Muslim [867]).

Ternyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ رضي الله عنه  قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم  مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

رواه مسلم

"Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka." (HR. Muslim [1017]).

Dalam hadits pertama, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan, bahwa setiap bid'ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama "kullu bid'atin dhalalah (setiap bid'ah adalah sesat)" sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan dengan redaksi, "Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik", maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Di sisi lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seringkali melegitimasi beragam bentuk inovasi amaliah para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh beliau. Misalnya berkaitan dengan tatacara ma'mum masbuq dalam shalat berjamaah dalam hadits shahih berikut ini:

عَنْ عَبْدِالرَّحْمنِ بْنِ أَبِيْ لَيْلَى قَالَ: (كَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ  صلى الله عليه وسلم إِذَا جَاءَ الرَّجُلُ وَقَدْ فَاتَهُ شَيْءٌ مِنَ الصَّلاَةِ أَشَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ فَصَلَّى مَا فَاتَهُ ثُمَّ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ ثُمَّ جَاءَ يَوْمًا مُعَاذٌ بْنُ جَبَلٍ فَأَشَارُوْا إِلَيْهِ فَدَخَلَ وَلَمْ يَنْتَظِرْ مَا قَالُوْا فَلَمَّا صَلَّى النَّبِيُّ  صلى الله عليه وسلم ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ  صلى الله عليه وسلم «سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ».وَفِيْ رِوَايَةِ سَيِّدِنَا مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ: (إِنَّهُ قَدْ سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ فَهَكَذَا فَاصْنَعُوْا). رواه أبو داود وأحمد ، وابن أبي شيبة، وغيرهم، وقد صححه الحافظ ابن دقيق العيد والحافظ ابن حزم

"Abdurrahman bin Abi Laila berkata: "Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu'adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu'adz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, maka Mu'adz segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu'adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab: "Mu'adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian." Dalam riwayat Mu'adz bin Jabal, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda; "Mu'adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan". (HR. al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-'Id dan al-Hafizh Ibn Hazm al-Andalusi).

Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara'. Dalam hadits ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menegur Mu'adz dan tidak pula berkata, "Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum bertanya kepadaku?", bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan Mu'adz sesuai dengan aturan shalat berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam. Dalam hadits lain diriwayatkan:

وَعَنْ سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ  رضي الله عنه قَالَ : كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ  صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ (مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟) قَالَ : أَنَا قاَلَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا»

رواه البخاري

"Rifa'ah bin Rafi' radhiyallahu anhu berkata: "Suatu ketika kami shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ketika beliau bangun dari ruku', beliau berkata: "sami'allahu liman hamidah". Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: "rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih". Setelah selesai shalat, beliau bertanya: "Siapa yang membaca kalimat tadi?" Laki-laki itu menjawab: "Saya". Beliau bersabda: "Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya". (HR. al-Bukhari [799]).

Kedua sahabat di atas mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yaitu menambah bacaan dzikir dalam i'tidal. Ternyata Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenarkan perbuatan mereka, bahkan memberi kabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan, karena perbuatan mereka sesuai dengan syara', di mana dalam i'tidal itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267), bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, selama dzikir tersebut tidak menyalahi dzikir yang ma'tsur (datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain. Seandainya hadits "kullu bid'atin dhalalah (setiap bid'ah adalah sesat)", bersifat umum tanpa pembatasan, tentu saja Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan melarang setiap bentuk inovasi dalam agama ketika beliau masih hidup.

Selanjutnya pembagian bid'ah menjadi dua, bid'ah hasanah dan bid'ah sayyi'ah, juga dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, termasuk Khulafaur Rasyidin. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ  رضي الله عنه  لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إلى الْمَسْجِدِ فَإِذًا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّيْ بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ t: إِنِّيْ أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِيْ نَامُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ

رواه البخاري

"Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata: "Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar radhiyallahu anhu berkata: "Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik". Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka'ab. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al-Khaththab, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar berkata: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir malam, lebih baik daripada di awal malam". Pada waktu itu, orang-orang menunaikan tarawih di awal malam." (HR. al-Bukhari [2010]).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu anhu. Kemudian Umar radhiyallahu anhu mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat tarawih pada seorang imam dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bid'ah. Tetapi bid'ah hasanah, karena itu beliau mengatakan: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini". Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

وَعَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ  رضي الله عنه  قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ  صلى الله عليه وسلم  وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ  رضي الله عنه  وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلىَ الزَّوْرَاءِ وَهِيَ دَارٌ فِيْ سُوْقِ الْمَدِيْنَةِ

رواه البخاري

"Al-Sa'ib bin Yazid radhiyallahu anhu berkata: "Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum'at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura', yaitu nama tempat di Pasar Madinah." (HR. al-Bukhari [916]).

Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum'at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum'at sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura', tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat Jum'at, sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid'ah, tetapi bid'ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula menamainya dengan sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.

Selanjutnya, beragam inovasi dalam amaliah keagamaan juga dipraktekkan oleh para sahabat secara individu. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan, beberapa sahabat seperti Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, al-Hasan bin Ali dan lain-lain menyusun doa talbiyah-nya ketika menunaikan ibadah haji berbeda dengan redaksi talbiyah yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Para ulama ahli hadits seperti al-Hafizh al-Haitsami meriwayatkan dalam Majma' al-Zawaid, bahwa Anas bin Malik dan al-Hasan al-Bashri melakukan shalat Qabliyah dan Ba'diyah shalat idul fitri dan idul adhha.

Berangkat dari sekian banyak hadits-hadits shahih di atas, serta perilaku para sahabat, para ulama akhirnya berkesimpulan bahwa bid'ah terbagi menjadi dua, bid'ah hasanah dan bid'ah sayyi'ah. Al-Imam al-Syafi'i, seorang mujtahid pendiri madzhab al-Syafi'i berkata:

اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ

الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩

"Bid'ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur'an atau Sunnah atau Ijma', dan itu disebut bid'ah dhalalah (tersesat). Kedua,sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur'an, Sunnah dan Ijma' dan itu disebut bid'ah yang tidak tercela". (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi'i, 1/469).

Pernyataan al-Imam al-Syafi'i ini juga disetujui oleh Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani dalam kitabnya, Majmu' Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (juz. 20, hal. 163)."

Setelah saya memaparkan penjelasan di atas, Ustadz Husni Abadi, pembicara yang mewakili kaum Salafi pada waktu itu, tidak mampu membantah dalil-dalil yang saya ajukan. Anehnya ia justru mengajukan dalil-dalil lain yang menurut asumsinya menunjukkan tidak adanya bid'ah hasanah. Seharusnya dalam sebuah perdebatan, pihak penentang (mu'taridh) melakukan bantahan terhadap dalil-dalil yang diajukan oleh pihak lawan, sebagaimana diterangkan dalam ilmu Ushul Fiqih. Apabila pihak penentang tidak mampu mematahkan dalil-dalil pihak lawan, maka argumentasi pihak tersebut harus diakui benar dan shahih.

Ustadz Husni Abadi berkata: "Ustadz, dalam soal ibadah kita tidak boleh membuat-buat sendiri. Kita terikat dengan kaedah al-ashlu fil-ibadah al-buthlan hatta yadulla al-dalil 'ala al-'amal, (hukum asal dalam sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya)".

Mendengar pernyataan Ustadz Husni, saya menjawab: "Kaedah yang Anda sebutkan tidak dikenal dalam ilmu fiqih. Dan seandainya kaedah yang Anda sebutkan ada dalam ilmu fiqih, maka kaedah tersebut tidak menolak adanya bid'ah hasanah. Karena Anda tadi mengatakan, bahwa dalam soal ibadah tidak boleh membuat-buat sendiri. Maksud Anda tidak boleh membuat bid'ah hasanah. Lalu Anda berargumen dengan kaedah, hukum asal dalam sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya. Tadi sudah kami buktikan, bahwa bid'ah hasanah banyak sekali dalilnya. Berarti, kaedah Anda membenarkan mengamalkan bid'ah hasanah, karena dalilnya jelas."

HA berkata: "Ustadz, dalam surat al-Maidah, ayat 3 disebutkan:

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ

"Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku." (QS. al-Maidah : 3)"

Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan demikian, orang yang melakukan bid'ah hasanah berarti berasumsi bahwa Islam belum sempurna, sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid'ah hasanah."

Saya menjawab: "Ayat 3 dalam surat al-Maidah yang Anda sebutkan tidak berkaitan dengan bid'ah hasanah. Karena yang dimaksud dengan penyempurnaan agama dalam ayat tersebut, seperti dikatakan oleh para ulama tafsir, adalah bahwa Allah subhanahu wa ta'ala telah menyempurnakan kaedah-kaedah agama. Seandainya yang dimaksud dengan ayat tersebut, tidak boleh melakukan bid'ah hasanah, tentu saja para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak akan melakukan bid'ah hasanah. Sayidina Abu Bakar menghimpun al-Qur'an, Sayyidina Umar menginstruksikan shalat tarawih secara berjamaah, dan Sayyidina Utsman menambah adzan Jum'at menjadi dua kali, serta beragam bid'ah hasanah lainnya yang diterangkan dalam kitab-kitab hadits. Dalam hal ini tak seorang pun dari kalangan sahabat yang menolak hal-hal baru tersebut dengan alasan ayat 3 surat al-Maidah tadi. Jadi, ayat yang Anda sebutkan tidak ada kaitannya dengan bid'ah hasanah. Justru bid'ah hasanah masuk dalam kesempurnaan agama, karena dalil-dalilnya terdapat dalam sekian banyak hadits Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan perilaku para sahabat."

HA berkata: "Ustadz, hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan dalil bid'ah hasanah. Karena hadits tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam. Bukankah redaksinya berbunyi, man sanna fil Islaam sunnatan hasanatan. Di samping itu, hadits tersebut mempunyai latar belakang, yaitu anjuran sedekah. Dan sudah maklum bahwa sedekah memang ada tuntunannya dalam al-Qur'an dan Sunnah. Jadi hadits yang Ustadz jadikan dalil bid'ah hasanah tidak proporsional."

Saya menjawab: "Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan teliti. Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (perilaku dan perbuatan, baik perbuatan yang diridhai atau pun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits, yaitu ma ja'a 'aninnabiy shallallahu alaihi wa sallam min qaulin au fi'lin au taqrir (segala sesuatu yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Seandainya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi'atan. Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyi'ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu, para ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil islam sunnatan hasanatan, membatasi jangkauan makna hadits kullu bid'atin dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan.

Selanjutnya, alasan Anda bahwa konteks yang menjadi latar belakang (asbab al-wurud) hadits tersebut berkaitan dengan anjuran sedekah, maka alasan ini sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu Ushul Fiqih telah kita kenal kaedah, al-'ibrah bi 'umum al-lafzhi la bi-khusush al-sabab, (peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada konteksnya yang khusus)."

HA berkata: "Ustadz, menurut al-Imam Ibn Rajab, bid'ah hasanah itu tidak ada. Yang namanya bid'ah itu pasti sesat."

Saya menjawab: "Maaf, Anda salah dalam mengutip pendapat al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali. Justru al-Imam Ibn Rajab itu mengakui bid'ah hasanah. Hanya saja beliau tidak mau menamakan bid'ah hasanah dengan bid'ah, tetapi beliau namakan Sunnah. Jadi hanya perbedaan istilah saja. Sebagai bukti, bahwa Ibn Rajab menerima bid'ah hasanah, dalam kitabnya, Jami' al-'Ulum wa al-Hikam fi Syarth Khamsin Haditsan min Jamawi' al-Kalim, beliau mengutip pernyataan al-Imam al-Syafi'i yang membagi bid'ah menjadi dua. Dan seandainya al-Imam Ibn Rajab memang berpendapat seperti yang Anda katakan, kita tidak akan mengikuti beliau, tetapi kami akan mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat yang mengakui adanya bid'ah hasanah."

HA berkata: "Ustadz, dalil-dalil yang Anda ajukan dari Khulafaur Rasyidin, seperti dari Khalifah Umar, Utsman dan Ali, itu tidak bisa dijadikan dalil bid'ah hasanah. Karena mereka termasuk Khulafaur Rasyidin. Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin, dalam hadits 'alaikum bisunnati wa sunnatil khulafair rasyidin al-mahdiyyin (ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk). Dengan demikian, apa yang mereka lakukan sebenarnya termasuk Sunnah berdasarkan hadits ini."

Saya menjawab: "Ustadz Husni yang saya hormati, menurut hemat kami sebenarnya yang tidak mengikuti Khulafaur Rasyidin itu orang yang menolak bid'ah hasanah seperti Anda. Karena Khulafaur Rasyidin sendiri melakukan bid'ah hasanah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin. Sementara Khulafaur Rasyidin melakukan bid'ah hasanah. Berarti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita melakukan bid'ah hasanah. Dengan demikian kami yang berpendapat dengan adanya bid'ah hasanah itu sebenarnya mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, mari kita ikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin dengan melakukan bid'ah hasanah sebanyak-banyaknya."

HA berkata: "Ustadz Idrus, kalau Anda mengatakan bahwa hadits kullu bid'atin dhalalah maknanya terbatas dengan artian bahwa sebagian bid'ah itu sesat, bukan semua bid'ah, lalu apakah Anda akan mengartikan teks berikutnya, yang berbunyi wa kullu dhalalatin finnar, dengan pengertian yang sama, bahwa sebagian kesesatan itu masuk neraka, bukan semuanya. Apakah Ustadz berani mengartikan demikian?"

Saya menjawab: "Ustadz Husni yang saya hormati, dalam mengartikan atau membatasi jangkauan makna suatu ayat atau hadits, kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu. Akan tetapi kita harus mengikuti al-Qur'an dan Sunnah pula. Para ulama mengartikan teks hadits kullu bid'atin dhalalah dengan arti sebagian besar bid'ah itu sesat, karena ada sekian banyak hadits yang menuntut demikian. Sedangkan berkaitan teks berikutnya, wa kullu dhalalatin finnar (setiap kesesatan itu di neraka), di sini kami tegaskan, bahwa selama kami tidak menemukan dalil-dalil yang membatasi jangkauan maknanya, maka kami akan tetap berpegang pada keumumannya. Jadi makna seluruh atau sebagian dalam sebuah teks itu tergantung dalil. Yang namanya dalil, ya al-Qur'an dan Sunnah. Jadi membatasi jangkauan makna dalil, dengan dalil pula, bukan dengan hawa nafsu." Demikianlah dialog saya dengan Ustadz Husni Abadi, di Denpasar pada akhir Juli 2010 yang lalu.

Di Islamic Center Jakarta Utara

Ada kisah menarik berkaitan dengan bid'ah hasanah yang perlu diceritakan di sini. Kisah ini pengalaman pribadi Ali Rahmat, laki-laki gemuk yang sekarang tinggal di Jakarta Pusat. Beliau pernah kuliah di Syria setelah tamat dari Pondok Pesantren Assunniyah Kencong, Jember. Ali Rahmat bercerita, "Pada pertengahan 2009, kaum Wahhabi mengadakan pengajian di Islamic Center Jakarta Utara. Tampil sebagai pembicara, Yazid Jawas dan Abdul Hakim Abdat, dua tokoh Wahhabi di Indonesia.

Pada waktu itu, saya sengaja hadir bersama beberapa teman alumni Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, antara lain Ustadz Abdussalam, Ustadz Abdul Hamid Umar dan Ustadz Mishbahul Munir. Ternyata, sejak awal acara, dua tokoh Wahhabi itu sangat agresif menyampaikan ajarannya tentang bid'ah. Setelah saya amati, Ustadz Yazid Jawas banyak berbicara tentang bid'ah. Menurut Yazid Jawas, bid'ah hasanah itu tidak ada. Semua bid'ah pasti sesat dan masuk neraka. Menurut Yazid Jawas, apapun yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, harus ditinggalkan, karena termasuk bid'ah dan akan masuk neraka.

Di tengah-tengah presentasi tersebut saya bertanya kepada Yazid Jawas. "Anda sangat ekstrem dalam membicarakan bid'ah. Menurut Anda, apa saja yang belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu pasti bid'ah dan akan masuk neraka. Sekarang saya bertanya, Sayidina Umar bin al-Khaththab memulai tradisi shalat tarawih 20 raka'at dengan berjamaah, Sayidina Utsman menambah adzan Jum'at menjadi dua kali, sahabat-sahabat yang lain juga banyak yang membuat susunan-susunan dzikir yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sekarang saya bertanya, beranikah Anda mengatakan bahwa Sayidina Umar, Sayidina Utsman dan sahabat lainnya termasuk ahli bid'ah dan akan masuk neraka?" Mendengar pertanyaan saya, Yazid Jawas hanya terdiam seribu bahasa, tidak bisa memberikan jawaban.

Setelah acara dialog selesai, saya menghampiri Yazid Jawas, dan saya katakan kepadanya, "Bagaimana kalau Anda kami ajak dialog dan debat secara terbuka dengan ulama kami. Apakah Anda siap?" "Saya tidak siap." Demikian jawab Yazid Jawas seperti diceritakan oleh Ali Rahmat kepada saya.

Kisah serupa terjadi juga di Jember pada akhir Desember 2009. Dalam daurah tentang Syi'ah yang diadakan oleh Perhimpunan Al-Irsyad di Jember, ada beberapa mahasiswa STAIN Jember yang mengikutinya. Ternyata dalam daurah tersebut, tidak hanya membicarakan Syi'ah. Tetapi juga membicarakan tentang bid'ah dan ujung-ujungnya membid'ah-bid'ahkan amaliah kaum Muslimin di Tanah Air yang telah mengakar sejak beberapa abad yang silam.

Di antara pematerinya ada yang bernama Abu Hamzah Agus Hasan Bashori, tokoh Salafi dari Malang. Dalam kesempatan tersebut, Agus menyampaikan bahwa bid'ah itu sesat semua. Yang namanya bid'ah hasanah itu tidak ada. Apa saja yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, harus kita tinggalkan, karena itu termasuk bid'ah dan akan masuk neraka. Demikian konsep yang dipaparkan oleh Agus.

Dalam sesi tanya jawab, salah seorang mahasiswa dari Jember tadi ada yang bertanya: "Kalau konsep bid'ah seperti yang Anda paparkan barusan, bahwa semua bid'ah itu sesat, tidak ada bid'ah hasanah, dan bahwa apa saja yang tidak ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam harus kami tinggalkan, karena termasuk bid'ah. Sekarang bagaimana Anda menanggapi doa-doa yang disusun oleh para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? Bagaimana dengan doa al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam sujud ketika shalat selama 40 tahun yang berbunyi:

قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: إِنِّيْ لأَدْعُو اللهَ لِلشَّافِعِيِّ فِيْ صَلاَتِيْ مُنْذُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، أَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ

الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ۲/۲٥٤

"Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: "Saya mendoakan al-Imam al-Syafi'i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, "Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi'i." (Al-Hafizh al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi'i, 2/254).

Doa seperti itu sudah pasti tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi'in. Tetapi al-Imam Ahmad bin Hanbal melakukannya selama empat puluh tahun.

Demikian pula Syaikh Ibn Taimiyah, setiap habis shalat shubuh, melakukan dzikir bersama, lalu membaca surat al-Fatihah berulang-ulang hingga Matahari naik ke atas, sambil mengangkat kepalanya menghadap langit. Nah, sekarang saya bertanya, menurut Anda, apakah para sahabat, al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Syaikh Ibn Taimiyah termasuk ahli bid'ah, berdasarkan konsep bid'ah yang Anda paparkan tadi? Karena jelas sekali, mereka melakukan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam."

Mendengar pertanyaan tersebut Agus ternyata tidak mampu menjawab dan malah bercerita tentang bid'ah hasanah Ibn Taimiyyah secara pribadi. Kisah ini diceritakan oleh beberapa teman saya, antara lain IS dan AD yang mengikuti acara daurah tersebut.

Demikianlah, konsep anti bid'ah hasanah ala Wahhabi sangat lemah dan rapuh. Tidak mampu dipertahankan di arena diskusi ilmiah. Konsep anti bid'ah hasanah ala Wahhabi akan menemukan jalan buntu ketika dihadapkan dengan fakta bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melegitimasi amaliah-amaliah baru yang dilakukan oleh para sahabat. Konsep tersebut akan runtuh pula ketika dibenturkan dengan fakta bahwa para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam banyak melakukan inovasi kebaikan dalam agama sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu'tabar).

Dari "Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi" karya Ust. Muhammad Idrus Ramli, alumni Pondok Pesantren Sidogiri tahun 1424/2004.

Semoga bermanfaat.

DIKUTIP : http://jundumuhammad.net/2011/03/13/bidah-hasanah-dan-dalilnya


Minggu, 04 November 2012

Mukjizat Dalam Sabda Nabi ”Jangan Marah”

Ini adalah seruan yang indah diungkapkan manusia terbaik, Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sejak empat belas abad yang lalu. Dan hari ini, di abad dua puluh satu para dokter di Inggris menyerukan hal yang sama, karena mereka menemukan solusi untuk masalah mereka di dalamnya.

Setiap kali seorang atheis (orang yang tidak percaya Tuhan) mendebatku dalam masalah ayat Alquran atau hadis Nabi yang mulia, aku menemukan keajaiban yang nampak dalam kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, shallallahu 'alaihi wasallam! Seolah-olah orang-orang atheis tersebut "dikirimkan" oleh Allah sebagai jalan untuk memberikan inspirasi penelitian dan perenungan untuk menyingkap keajaiban-keajaiban baru yang tidak pernah terbetik di hati kami seandainya tidak ada kritikan mereka terhadapnya!

Salah satu hal yang mengejutkanku adalah bahwa salah seorang dari mereka mengklaim bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah "orang yang emosional" tidak dikenal dari beliau kecuali kemarahan dan emosi beliau. Astaghfirullaah (saya meminta pengampunan kepada Allah) dari ucapan ini, akan tetapi saya terpaksa untuk melihat pernyataan-pernyataan mereka untuk dapat membantah dan menjelaskan hakekat keyakinan mereka yang lemah dan rusaknya argumen mereka yang rapuh.

Akan tetapi aku teringat satu hadits yang mulia ketika datang seorang Badui kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata kepada beliau:"Berilah wasiat kepadaku". Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya dengan satu kata yang diserukan oleh para ilmuwan Barat hari ini setelah mereka menemukan apa yang dikandung di dalamnya berupa rahasia-rahasia, manfaat dan arahan-arahan. Kata itu adalah "Jangan marah" yang beliau ulang berkali-kali sampai-sampai terbayang di pikiran orang Badui tersebut kalau Islam itu terkumpul dalam satu ungkapan yang indah ini, yaitu" Jangan marah".

Maka kemarahan adalah kunci dari semua pintu-pintu kejahatan, dan kunci dari sikap arogansi yang menimpa orang-orang atheis dan yang lainnya dari kalangan orang yang skeptis (ragu-ragu). Dan mungkin dapat saya katakan bahwa kemarahan adalah kunci ke Neraka Jahanam. Semoga Allah melindung kita darinya.

Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Nabi pembawa rahmat tidak pernah marah karena urusan dirinya sendiri (pribadi) atau karena hal-hal duniawi, kecuali jika kesucian/kehormatan Allah dilanggar. Dan di sini terpendam keagungan Nabi yang diolok-olok oleh musuhnya, karena mereka benar-benar tidak menemukan satu pun argumentasi ilmiah yang bisa mereka menyerangnya. Dan setelah kantong-kantong mereka kosong dari argumen-argumen dan bukti-bukti mereka memilih cara orang-orang lemah, yaitu ejekan!

Agar argumen kami ilmiah, pertama kami ingin memperlihatkan apa yang diterbitkan oleh Daily Mail Inggris tentang seruan yang diserukan oleh para peneliti Inggris yang meyakini bahwa solusi untuk masalah-masalah Barat, yang muncul di tengah-tengah mereka sebagai buah dari atheisme. Maka hari ini Barat menyaksikan tingginya tingkat kejahatan, pemerkosaan dan kekerasan dengan segala bentuknya di jalan dan di rumah. Sesungguhnya hal itu adalah fenomena sosial yang serius (mengkhawatirkan), mereka telah menghabiskan jutaan (uang) untuk menemukan solusi untuknya. Maka lihatlah dengan apa akhirnya mereka keluar!!

Sejumlah dokter Inggris memperingatkan tersebarnya fenomena hilangnya kemampuan kontrol hati. Mereka menekankan bahwa hal itu terhitung sebagai masalah besar, meskipun ada yang menganggap bahwa hal itu tidak membutuhkan pengobatan. Para dokter tersebut mengatakan bahwa ketidakmampuan mengendalikan amarah telah menjadi fenomena yang berkembang dan menyebabkan kenaikan jumlah tindak pidana dan disintegrasi (perpecahan) keluarga, di samping masalah-masalah kesehatan, baik fisik maupun mental.

Para dokter tersebut menemukan korelasi yang kuat antara kemarahan kronis dan akut dengan penyakit-penyakit jantung, kanker, stroke, dan frustrasi dan bahkan pilek dengan frekuensi yang banyak! Yayasan Perawatan Kesehatan Mental telah mengeluarkan survei yang menunjukkan bahaya fenomena ini, mereka menyerukan untuk menghadapi bahayanya, karena ia menyakiti kehidupan banyak orang.

Direktur Eksekutif di Yayasan tersebut, Dr.Andrew Makaloc berkata bahwa termasuk keanehan adalah bahwa manusia dibiarkan sendiri -ketika urusannya berkaitan dengan perasaan yang kuat seperti kemarahan- di dalam lingkungan masyarakat yang mana di dalamnya mereka bisa mendapatkan bantuan ketika menderita depresi, kecemasan, panik, ketakutan, gangguan makan dan masalah psikologis lainnya. Sesungguhnya kemarahan ini jika terus-menerus ada akan menghancurkan kehidupan seseorang. Para peneliti mengakui bahwa mengatasi masalah kemarahan bukan masalah yang mudah, akan tetapi manfaatnya sangat besar!!

Penelitian ini menguatkan bahwa kemarahan telah menjadi masalah terbesar, meliputi seperempat jumlah masyarakat dan menyebabkan banyak frustrasi. Oleh karena itu mereka menyerukan seruan yang kompak, yang menegaskan pentingnya agar seseorang tidak marah, sebagai sarana pengobatan untuk sebagian besar permasalahan masyarakat, terlebih khusus kaum muda. Sebagaimana studi kedua yang dipublikasikan di situs BBC juga menegaskan bahwa ada hubungan yang kuat antara kemarahan dengan penyakit jantung dan serangan jantung.

Mereka menemukan bahwa manusia yang terbiasa dengan kemarahan berpeluang terserang penyakit jantung, tekanan darah tinggi dan lain-lain. Dan bahkan bisa menyebabkan kematian

Lihatlah bersama kami, bagaimana Barat untuk kembali sedikit demi sedikit ke ajaran Islam, apa maknanya itu? Maknanya adalah satu, yaitu bahwa ketika seseorang mencari, berpikir dan menemukan fakta-fakta ilmiah dan menyelami eksperimen-eksperimen pasti ia akan sampai pada fakta-fakta yang sama yang dibawa oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan pertanyaan saya kepada Anda apakah kecintaan Anda kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meningkat setelah Anda menelaah pembahsan ini?

Akan tetapi dalam penelitian baru yang dilakukan oleh para peneliti di University of California membuktikan bahwa kemarahan berguna hanya dalam satu kasus, yaitu ketika membela sesuatu dan penggunaan argumen-argumen dan bukti-bukti untuk membuktikan kebenaran sesuatu. Mereka telah menemukan bahwa kemarahan membantu dalam hal ini hanya untuk menegakkan argumen kepada orang lain .

Di sini, kita katakan Subhaanallahu! Lihatlah bagaimana Nabi agung Muhamad shallallahu 'alaihi wasallam hanya marah dalam satu kondisi, yaitu ketika kesucian/kehormatan Allah dilanggar. Dan penyebab kemarahan beliau adalah agar pelanggaran terhadap aturan Allah bisa diobati dengan cara sebaik mungkin. Inilah akhlak Nabi kita tercinta shallallahu 'alaihi wasallam.

Sesungguhnya fakta-fakta yang dibawa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menggambarkan fitrah (naluri) yang telah Allah ciptakan pada umat manusia. Dan ini bukti fisik terbesar yang menunjukkan bahwa Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam benar di dalam dakwahnya ke jalan Allah, dan Kemahabenaran Allah ketika menyifati beliau dengan sifat yang tidak diberikan kepada makhluk selain beliau. Dia berfirman:


(لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ * فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ) [التوبة: 128-129].

"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah :"Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Ilah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang memiliki 'Arsy yang agung." (QS. At-Taubah: 128-129)

(Sumber:( الإعجاز العلمي في حديث (لا تغضب dari http://www.kaheel7.com/modules.php?name=News&file=article&sid=825. diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)

Sumber: http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihatmujizat&id=252
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu, 03 November 2012

Untuk Menghadapi Masa Depan

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Obati Dirimu Dengan Kurma

Jumat, 28 September 12

Kurma terhitung sebagai "kamus/ensikopedi" gizi yang terintegrasi yang Allah ciptakan untuk kita. Mari kita cermati dan renungkan manfaat-manfaat dari buah yang indah ini sebagai sebuah sumber gizi, penyembuhan dan obat.

Pertanyaan yang akan kami ajukan di dalam artikel ini:Mengapa Nabi yang mulia shallallahu 'alaihi wasallam memperbanyak berbuka puasa pada bulan Ramadhan dengan buah kurma? Dan dikarenakan semua perbuatan yang dilakukan oleh Nabi yang penyayang shallallahu 'alaihi wasallam di dalamnya ada hikmah yang agung, maka pasti ada hubungan antara puasa dengan buah kurma dari satu sisi, dan dari sisi lain ada hubungan antara kurma dengan penyembuhan dari beberapa macam penyakit, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terbiasa memakan kurma di sepanjang tahun (tidak hanya bulan Ramadhan, ed).

Oleh karena itu kita akan melihat manfaat-manfaat besar dari mengkonsumsi kurma setiap hari, terutama pada bulan Ramadhan yang penuh berkah, yang kita memohon kepada Allah untuk menerima dari kita semua amalan puasanya, dan menyelamatkan kira dari api neraka-Nya. Berikut kami ketengahkan untuk anda semua beberapa penyakit yang disembuhkan oleh kurma.

Kurma Obat Keracunan

Sesungguhnya memakan sedikit kurma setiap hari akan membantu tubuh anda agar terbebas dari sebagian racun yang tertimbun di dalam sel-sel, seperti logam berat seperti timbal misalnya. Dan racun-racun ini telah meningkat jumlahnya di zaman kita dikarenakan tercemarnya air, udara dan makanan yang kita konsumsi. Dan mungkin di sana ada manfaat besar dari kurma dalam pengobatan terhadap keracunan timbal, yang mana udara yang kita hirup pada hari ini telah terkontaminasi dengan timbal, disebabkan pelepasan sejumlah oksida timah dari knalpot mobil dan cerobong-cerobong asap pabrik.

Kurma Mengobati Gangguan Usus

Kurma mengobati gangguan usus dan membantu usus untuk melaksanakan fungsinya secara efektif. Sebagaimana ia juga membantu pembentukan koloni bakteri "baik" dalam usus. Oleh karena itu kurma membantu menyembuhkan penyakit sembelit dengan baik, menyusutkan otot-otot usus dan merangsangnya dengan serat-serat yang dikandung olehnya (kurma). Dan bisa juga mengambil manfaat lebih jauh lagi dari minuman kurma untuk mengobati sembelit, yaitu dengan merendam beberapa butir biji kurma pada malam hari dan mengkonsumsinya pada pagi harinya sebagai obat pencahar.

Kurma Mengobati Gangguan Seksual

Bisa juga menggunakan minuman kurma untuk mengobati lemah jantung, sebagaimana bisa juga menggunakannya untuk mengobati disfungsi ereksi (lemah syahwat). Dan jika kurma dicampur dengan susu dan madu, maka akan membentuk minuman yang efektif untuk pengobatan gangguan seksual pada kedua pasangan (suami dan isteri, ed).

Tanggal Meningkatkan Tingkat Energi

Minuman dari kurma yang direndam dengan air memperkuat tubuh secara umum dan meningkatkan kadar energi di dalamnya (tubuh). Dan juga dapat dikonsumsi oleh orang-orang lanjut usia untuk meningkatkan kekuatan mereka dan membebaskan mereka dari racun-racun yang tertimbun di dalam sel-sel tubuh sepanjang usia mereka.

Kurma Mengobati Gangguan Mental

Sesungguhnya terkandungnya beberapa macam jenis logam, mineral dan vitamin di dalam kurma akan mempengaruhi kerja otak, dan menutup kekurangan nutrisi otak yang dikurangi oleh tubuh, dan ini menghasilkan stabilitas psikologis pada manusia. Ini berarti bahwa konsumsi kurma setiap hari secara teratur akan mempengaruhi kondisi mental (kejiwaan) dan menjadikannya lebih stabil.

Kurma Mengobati Kelebihan Berat Badan

Sesungguhnya terkandungnya sekumpulan unsur nutrisi di dalam kurma menjadikan kurma sebagai nutrisi yang melawan kelaparan! Dan jika kita mengetahui bahwa sebab utama obesitas (kegemukan) adalah rasa lapar yang terus menerus, dan nafsu makan. Dan akibatnya terjadi konsumsi lemak dan gula yang lebih banyak saat makan. Maka pengobatan dengan mengkonsumsi beberapa butir kurma ketika lapar akan membantu untuk merasa kenyang dan perut terisi. Kurma-kurma ini akan menyuplai zat gula yang dibutuhkan untuk tubuh, dan mengatur gerakan usus. Dan tentunya akan mengurangi rasa lapar dalam jumlah besar. Dan hasilnya adalah mengurangi konsumsi makanan. Dan dari sinilah nampak dengan jelas petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika beliau bersabda:


(لا يجوع أهل بيت عندهم التمر) [رواه مسلم].

" Tidak merasa lapar penghuni rumah yang memiliki tanggal kurma. [Diriwayatkan oleh Muslim].

Bersambung, Insyaa Allah….

(Sumber: Diterjemahkan dari التمر يعالج اضطرابات الكبد karya 'Abdu ad-Daim al-Kaheel di http://www.kaheel7.com/ar/index.php/2010-02-02-22-31-09/83-2010-02-26-13-57-04. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono

Sumber: http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihatmujizat&id=253
Powered by Telkomsel BlackBerry®