ENCOURAGEMENT !


oleh Irfan Hidayat pada 9 September 2011 pukul 19:11 ·
oleh Rheinald Kasali
 
LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.
 
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu
telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,bagus
sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar
bahasa.
 
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu
pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya
yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat
sederhana.
 
Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.
 
Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan
bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja
sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. "Maaf Bapak dari mana?"
 
 Dari Indonesia," jawab saya. Dia pun tersenyum.
 
Budaya Menghukum
 
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya.
 
Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
 
"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun
tetap simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia
yang anak-anaknya dididik di sini,"lanjutnya. "Di negeri Anda, guru
sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk
menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!
Dia pun melanjutkan argumentasinya.
 
"Saya sudah 20 tahun
mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru
tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya
dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnya menunjuk karangan
berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat
pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.
 
Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang
bergelimang nilai "A", dari program master hingga doktor. Sementara di
Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai
ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
 
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar
siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji
bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut
membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka
menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan
seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
 
Ujian
penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan
kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong,
malah ikut "menelan" mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
 
Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan,
 penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak
sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat
mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen
menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka
bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun
bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak
hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan
juga menguji dengan cara menekan.
 
Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika
memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana
mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima
Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara
akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun,
bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru
mengingatkan saya. "Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan.
 
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
 
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun
rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang
mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti."
 
Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan
mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah
telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat
menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna),tetapi saya
mengatakan "gurunya salah". Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
 
Melahirkan Kehebatan 
 
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan
rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik,
kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan
rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata
ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna
merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
 
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi
lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif
dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata
menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut
(mengecil) atau sebaliknya,dapat tumbuh.
 
Semua itu sangat
tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari
orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat
tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada
orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.*
 
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.
 
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan
ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan
menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.
 
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/338297/
 

Komentar